Pertemuan Tak Sengaja


Ujian semester ketiga kali ini baru saja usai, entah apa yang akan terjadi padaku saat penerimaan raport nanti aku tak berharap hari itu segera datang. Tak begitu yakin bahwa hasil belajarku semester ini akan memuaskan, yang ku nanti hanya hari libur yang juga ditunggu-tunggu oleh para pelajar lainnya. Meski aku tahu kalau hari-hari liburku biasanya seperti hari-hari biasa saja--tak ada liburan, tak ada hiburan, dan tak ada hari menyenangkan, walau begitu setidaknya aku beristirahat dari tugas-tugas sekolah yang membunuhku perlahan.
Pagi itu, entah tanggal, jam, menit, dan detik keberapa aku juga tak tahu pasti karena tak begitu kuhiraukan, hari libur membosankan yang akan dihiasi pekerjaan-pekerjaan rumahku pun dimulai. Mentari dhuha sudah tinggi, menyelinap masuk kekamarku melalui cela-cela kaca  yang menyapu kulit wajahku dan membuat mataku harus terbuka namun tubuhku enggan beranjak dari tempat tidur yang tak begitu empuk. Seperti biasa, handphone-lah yang menjadi tujuan utamaku dan beberapa remaja lainnya diluar sana saat terjaga dari pulasnya istirahat malam. Aku mencari-cari handphone-ku yang ternyata sudah tergeletak tak berdaya dan berderai di lantai kamarku yang dilapisi debu tipis karna malasnya memegang tangkai sapu yang enggan menyapu sendiri.
Usai memperbaiki handphone, aku langsung beranjak dari tempat tidur dengan lunglai lalu menggapai handuk merah jambu yang tergantung dibalik pintu kamar. Lalu melakukan aktifitas sehari-hari seperti biasa yang hanya saja tidak adanya tugas yang harus aku kerjakan dengan tergesah-gesah, dan beberapa pekerjaan dirumah yang harus lebih banyak aku kerjakan dari biasanya. Sedikit tambahan adalah rumahku akan lebih sering terdengar nyaring karna suara pertengkeran antara aku dengan adik-adikku. Hal-hal sepele yang tidak penting yang biasanya kami ributkan seperti memperebutkan remote televisi. Mungkin begitulah gambaran hari-hariku untuk beberapa hari kedepan saat libur semester kali ini, seperti libur-liburku sebelumnya. 
Dugaanku benar, liburanku kali ini sudah seperti tidak asing lagi dan seperti mengulang kaset usang berkali-kali. Hingga disuatu pagi, entah hari libur yang keberapa saat itu aku tak begitu tau pasti karena tak begitu peduli pada hari-hari yang kulalui. 
“TOK.. TOK.. TOK..”
Tidurku usai karena suara dentang pintu kamarku yang mengganggu. Begitulah cara ibuku membangunkan orang yang sulit terjaga sepertiku dan terlebih karna kebiasaanku mengunci pintu kamar sehingga orang tuaku hanya bisa membangunkanku dengan cara yang praktis seperti itu.
“ Iyaaaaa, iyaa maaaa” Ucapku dari dalam kamar dengan mata masih terpejam.
“Cepat bangun atau kamu akan tinggal dan menjadi penjaga rumah!” Seru ibu dengan lantang membalas ucapanku.
Aku hanya mengiyakan perkataan ibuku dengan kata-kata dan nada yang sama seperti tadi sambil terheran-heran dan bertanya dalam hati, mau kemana emangnya?. Aku beranjak keluar kamar masih dalam keadaan setengah sadar dan melongo dengan wajah polos seperti tanpa dosa dengan kebingungan melihat kelurgaku sudah siap dengan tas dan koper juga pakaian  rapi yang sedang digunakan. Mereka hanya melihatku sesaat lalu melanjutkan pekerjaan masing-masing sambil menyuruhku agar segera beranjak kekamar mandi dan berpakaian rapi.
“Cepat mandi sana!” Seru ayahku.
Aku hanya mengangguk dan beranjak mengambil handuk lalu mandi. Setelah rapi dengan pakaian yang aku gunakan, aku keluar kamar lalu menyantap sarapan pagi bersama keluargaku dimeja makan. Tak seperti biasanya.
“Jadi mau kemana kita?” Senyum ayah dan perkataan itu membuka percakapan.
“Ha?” Aku mengerenyitkan kening layaknya orang yang tak tahu apa-apa.
“Makanya jangan sibuk dikamar sama hp aja, haha!” Sambung adikku yang membuat darahku naik.
“Pagi-pagi udah nyari masalah!” Ucapku sambil memplototi adik laki-lakiku yang lancang. Karna tak ingin mati penasaran aku langsung menanyakannya sesaat setelah sarapan pagi usai.
“Yah, ada apa? Mau kemana kita?” Tanyaku polos pada ayah.
“Terserah, maunya kemana?” Ayah tak memberi jawaban. Tak lama kemudian ayah menyampaikan planning yang sebenarnya tak perlu ditanyakaan lagi ke kami. “Bagaimana kalau kita ke Sumbar ngerayain tahun baru disana sekalian silahturahmi dengan keluarga disana.” 
Ya, disana ada sanak-saudara yang sudah lama tidak dikunjungi. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan penjelasan ayah tadi yang tak mungkin merubah perjalanan itu ke Jepang, negara impianku. Tak berselang lama, tas dan koper yang tadinya diteras rumah kini telah beranjak kedalam mobil. Ayah segera menyuruh kami masuk kemobil. Aku meniti langkah kearah mobil dengan lamban karna fokusku terbagi. Handphone lebih mendominasi diantara langkahku. Maklum saja, gadis remaja yang masih berumur 16 tahun seperti aku berkutat dengan social media. Hanya berusaha untuk tidak ketinggalan informasi yang melesat cepat didunia maya dan berkomunikasi dengan salah seorang sahabatku. Namanya Ziggy Derando, aku lebih suka memanggilnya Rando, dia sedikit lebih muda dariku, seorang laki-laki pemalu berambut ikal dengan lagaknya yang acuh tak acuh. Kita tak sengaja berkenalan didunia maya, yang ketika itu handphone yang sedang aku gunakan rusak karna kelalaianku sendiri, dan mengumbar perihal itu didunia maya.
            Mataku engga terpejam dibenda yang bergoyang karna lekuk jalan yang tidak rata ini. Dan berusaha melenyapkan kebosanan panjang dengan mendengarkan lantunan lagu-lagu pop dan ditemani cemilan ringan ditanganku. Setelah melewati beberapa ratus kilometer kami berhenti setelah adzan Dzuhur terdengar berkumandang dari musholah yang baru saja kami lewati. Berhenti ditempat yang cukup terkenal disana, danau Singkarak, hanya untuk sekedar beristirahat dan melaksanakan kewajiban sebagai seorang muslim.Perjalanan yang menanti kami masih panjang. Ayah memutuskan untuk mengunjungi rumah saudaranya yang tak jauh dari tempat kami beristirahat tadi untuk bersilahturahmi dan menunaikan ashar, hanya butuh beberapa jam untuk sampai disana, Padang Panjang.
Injakan kakiku dilantainya yang paling dingin yang pernah aku rasakan, menusuk hingga ketulang-tulang kakiku menyambut kedatangan kami disana dengan seutas senyum dan sapaan hangat dari saudara ayahku itu. Ia seorang pria paruhbaya yang baik dan sedikit lebih tua dari ayahku, kepalanya sudah dihiasi rambut putih dan masih bekerja sebagai seorang TNI yang kantornya bersebelahan dengan rumah yang ditempatinya saat ini. Sore itu ia masih lengkap dengan seragam kerjanya mencoba membujuk ayahku untuk mencicipi makanan terkenal yang berada tak jauh dari kantor dinasnya, namun ayah hanya menolak lembut dengan alasan ingin segera sampai ditujuan , Padang, sebelum adzan maghrib berkumandang.
            Terlelap disofa krem kecoklatan setelah beberapa menit tiba dirumah kediaman kakak dari ibuku, dari perjalanan panjang nan melelahkan. Aku terjagakan oleh kemenakan perempuan kecil yang mencolekku nakal. Mentari pagi mencoba masuk dari jendela kaca depan yang terhalang tirai putih bermotif bunga coklat dibeberapa sisi. Kami bergegas bersiap-siap untuk diri masing-masing, untuk mengunjungi beberapa keluarga lainnya disekitar kota ini. Semprotran parfum pink beraroma mawar yang menyejukkan mengakhiri dandananku untuk hari yang panjang kali ini.
            “Jensiii!” Sekali lagi panggilan ayah menyentakkanku, menyuruhku untuk bersegera karena mengingat route dan jadwal perjalanan yang harus diselesaikan hari ini. Lalu berpamitan dengan sanak-saudara tempat kami menetap semalam dengan tergesa-gesa. Mereka tersenyum dengan lambaian tangan diiringi doa pengantar kami agar selamat sampai tujuan. Hari ini dipenghujung tahun 2013, 31 Desember, menikmati jalanan kota yang semakin padat dan macet disana-sini. Usai bersilahturahmi dengan sanak-saudara yang tinggal dikota itu, ban mobil melesat secepat yang dibisa menuju beberapa tempat pariwisata yang tersedi sejak lama di provinsi yang terkenal akan suguhan keindahan alamnya.
            Komunikasiku terputus dengan Rando karena handphone-ku baru saja mati kehabisan baterai saat pesannya selesai aku baca, powerbank pun tak sempat ku isi dayanya semalam karna lelahnya seharian dijalan. Tak pikir panjang, handphone ibu menjadi sasaran pinjaman untuk beberapa saat berkomunikasi dengannya yang juga sedang berlibur di kampung halamannya, Bukit Tinggi, bersama teman-teman baiknya. Entah mengapa aku menjadi sebegitu antusias ingin selalu bercakap-cakap dengannya melalui ketikan-ketikan tak tentu arah di pesan singkat, mungkin karna dia yang selalu menemaniku menghalangi kebosanan disekitarku dan dia juga yang sering membangkitkan mood-ku tiap harinya.
            Waktu seakan melesat cepat, menghabiskan beberapa jam didalam mobil karna terperangkap macet yang cukup panjang saat menuju Bukit Tinggi, tujuan terakhir kami hari ini. Udara diluar semakin mendingin dengan kehadiran rintik-riktik kecil dari langit. Remang-remang terlihat diluar sana melalui kaca yang mulai berembun kedinginan. Ku tempelkan telapak tangan disisi kiri tepi kaca yang dingin dan membiarkan merasuk kedalam tubuhku, mata terpejam membayangkan lantas berharap malam ini menjadi malam luar biasa yang tidak akan terlupakan. Suara musik yang kencang tiba-tiba mengagetkanku hingga mataku terbuka refleks.
            Mentari semakin menutupi diri, bergantian dengan rembulan yang baru saja terbangun. Rintik hujan sudah berhenti, namun masih meninggalkan bekas-bekas dibumi. Ayah memarkir mobil tak jauh dari ikon terkenal yang berdiri kokoh dan gagah disana, Jam Gadang. Kami menyusuri jalan tercepat yang bisa segera dicapai kesana dengan langkah mantap didinginnya malam yang mendung. Rando menanyakan keberadaanku saat ini. Dengan sigap aku membalas pesannya dan menyebutkan warna pakaian yang sedang aku gunakan agar mempermudahnya untuk menemukanku dikeramaian manusia, celana lepis coklat dipadu dengan baju jeans dongker ditambah lilitan hijab dikepala berwarna coklat pula, begitu jelasku.
Sesampai didaerah sekitar ikon terkenal itu, ayah langsung melesat masuk kedalam plaza yang berada dekat dengan Jam Gadang untuk makan dan membeli beberapa stel jaket pelapis baju yang tak cukup tebal dicuaca seperti ini. Ingin aku menunggu Rando saja diluar tapi tak punya cukup keberanian, lantas mengikuti ayah, ibu dan adik-adikku dibelakang. Seusai berbelanja, aku mencari-cari sesosok laki-laki yang berambut ikal itu yang katanya sudah berada tepat didepan (trotoar seberang) plaza yang baru saja aku jajahi. Dia sudah menemukanku terlebih dulu, tak ingin dicurangi aku juga meminta ciri-ciri pakaian yang sedang dia gunakan.
Ternyata secara tak sengaja dia juga menggunakan pakaian yang senada dengan yang aku gunakan, celana berwarna coklat dengan kaus putih yang dilapisi versity dongker.  Sesampainya digerbang plaza aku mempersipit mataku untuk memperjelas orang yang sedang aku cari. Saat mataku menemukannya, senyum lebar terlukis diwajah kami berdua. Dia yang sedang bersama teman-temannya langsung menyebrangi lautan manusia kearah depan gerbang plaza tempat aku berdiri. Ada sedikit rasa canggung diantara kami, mungkin karena sudah lama tak bertemu karena sekolah kami pun berbeda meski tinggal disatu kota yang sama, Pekanbaru. Aku berpamitan kepada orangtuaku saat ia mengajakku pergi tour gratis disekitar sana. Secarik senyum kaku darinya terpancar saat aku berpamitan sambil menunjuk kearahnya.
Teman-temannya yang tiba-tiba berbisik dengannya lalu pergi membuatku merasa semakin canggung. Lalu tiba-tiba saja, sebelah tangannya menarik tanganku menuntunku keluar dari jebakan lautan manusia ini. Taklama kemudian, aku bisa merasakan hidungku menghirup udara sejuk yang tidak lagi bercampur dengan bau banyaknya manusia seperti tadi. Ku hirup dalam-dalam udara dingin yang masuk menyejukkan hati sembari memejamkan mata.
“Hei, ngapain?” Sikutnya memulai percakapan sambil terkekeh kecil.
“Heheh, gak ada, gangguin aja ih!” Sedikit tawa terselip dikata-kata itu. “Apa nama tempat ini?” Tanyaku penasaran.
“Tempat beginian masih ditanyain. Gak liat apa udah merah-merah gini pake bola-bola diatasnya lagi, masa gak tau?” Jawabnya jutek sambil tertawa kecil mengejekku.
“Yakan emang gak tau, lagian nanya nama tempatnya doang.” Jawabku polos.
“Kampung China.” Singkat saja lalu hening.
Dia menarik tanganku lagi, sedikit berlari menuju pedagang-pedagang yang menjajakan dagangannya yang sedang sibuk melayani pembeli nan kian ramai saja.
“Mau makan apa?” Tanyanya menawarkan.
Aku tersenyum. “Aku udah makan kok, masih kenyang.”
“Kalau minum?” Tawarnya lagi.
“Boleh deh, tapi traktir boleh kali yah.” Cibirku bercanda.
“Iya sip, aman kok.” Senyumnya melebar sembari menepuk-nepuk kantung belakangnya.
            Kami menegak minuman tadi dan lanjut berjalan-jalan. Tak banyak percakapan saat itu. Hanya sedikit perasaan aneh yang mengusikku, tapi enggan ku gubris. Sudah cukup lama berjalan dan kami terlalu lelah untuk melangkah semakin jauh. Memutuskan untuk beristirahat sejenak ditempat duduk yang masih tersisa diantara lalu lalang manusia dengan tujuan masing-masing.
“Balik yuk! Ntar makin rame susah ketempat mama kamu” Ujarnya.
Anggukku lemah, digenggamnya lagi pergelangan tanganku erat lalu menarikku untuk menyusuri jalanan penuh sesak untuk segera kembali agar tak begitu sulit jika semakin ramai orang nantinya. Sesampainya ditempat semula, tempat orangtuaku berada, ia langsung berpamitan untuk menyusul teman-temannya yang ternyata telah lebih dulu pulang darinya. Sebuah senyum yang melemah dariku juga pandangan mata hingga ia benar-benar menghilang dari penglihatanku mengakhiri perjumpaan kami yang betul-betul jarang meskipun itu secara tak sengaja, entah apa kehendak Tuhan hingga kami bisa menghitung dengan jari pertemuan kami yang saking jarangnya. Sedikit kecewa karna ternyata aku tak benar-benar merayakan sebuah pergantian tahun dengannya, sahabatku. Terasa sedikit janggal kalimat itu untuk diucapkan diantara kami berdua.
Detik-detik pergantian tahun pun tiba. Kelap-kelip warna-warni berterbangan diudara menghiasi langit mendung secara bertubi-tubi yang kerap kali mengejutkanku. Tiba-tiba aku  berharap Rando ada disini, disampingku. Aku berusaha menghibur diri dengan berkata didalam hati, Setidaknya kita melihat benda yang sama meski ditempat berbeda yang sebenarnya tak begitu saling berjauhan, kan?!. Mencoba tersenyum untuk menikmatinya.
Detik, menit, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun baru saja berganti secara bersamaan beberapa menit yang lalu. Lautan manusia membanjiri jalanan yan mendorong sana sini karna keegoisan masing-masing. Aku lelah, aku ingin pulang, disini penuh sesak. Ada sedikit rasa sesal dari diriku malam ini, pesta pergantian tahun seperti tahun-tahun sebelumnya terasa lebih nyaman dibanding berada diantara lautan manuasia yang penuh sesak. Tapi aku cukup bahagia dengan hari ini yang sedikit berbeda ditambah Rando yang menemaniku sesaat sebelum puncak pesta pergantian tahun dimulai tadi yang sedikit banyak mengobati kerinduanku padanya. 
Jalanan semakin melengang, kami menitih jalan dengan lunglai menuju parkiran dan segera pulang. Pamitku dipesan singkat ternyata tak cukup bagi Rando, ia menungguku didepan rumahnya sembari kedinginan karena selimut sedang digunakan teman-temannya yang sudah terpulas diranjang mereka. Tapi sayangnya, aku yang tidak tahu rumahnya dimana dan arah mobil kemana hanya melongo dijendela kaca berusaha mencari keberadaannya. Dan ternyata benar saja, arah mobil tak melewati rumahnya. Sedikit kekecewaan tergambar dari pesan singkat kami. Ia menemaniku sepanjang perjalanan pulang hingga saling terlelap tanpa sadar hingga aku tiba dirumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review: THE BODY SHOP SKIN DEFENCE MULTI-PROTECTION ESSENCE SPF 50 PA++++

MODEL PEMBELAJARAN PEMROSESAN INFORMASI